Catper CP Biennale–Sekedar Penampakan
Setelah menunda selama hampir 2 minggu, akhirnya jadi juga berangkat Museum BI. CP Biennale. Urban Culture. Sebuah pandangan mata dari seorang penikmat keindahan yang tidak berusaha sok seni dan apa adanya, tanpa bermaksud menohok atau menyudutkan pihak2 yang berkepentingan (itu juga kalo ada). Dan gak mau sok kritis. Period.
14.20. Teng. Angka2 digital di pergelangan tangan bergulir ketika menjajakan kaki di tangga Museum BI dimana CP Biennale yang bertajuk Urban Culture diselenggarakan. Setelah mengisi buku tamu, tiba-tiba saya disergap oleh kru JakTV yang minta buat wawancara sejenak, apalagi kalo bukan tentang pameran itu sendiri dan peristiwa terpanas seputar Anjas. Bah. Berhubung saya datang berenam dengan rekan kantor langsung saja saya limpahkan “kehormatan” tersebut pada rekan Iman Kohar yang saya anggap lebih senior dan lebih banyak tahu dari segi fotografi dan lebih “serius” pandangannya terhadap masalah ini. Kalo saya, waduh, bisa emosi. Hahahahaha.
Instalasi pertama yang menghadang adalah buah karya seorang seniman dari Cina–yang saya lupa namanya (maaf) berupa Lotus hitam berdiameter kurang lebih 2 meter, yang sejenak mengembang, sejenak mengempis. Tapi yang berikutnya, ini salah satu yang saya sukai disini–dan berhubung bukan tempat saya untuk meng-kurator-i sebuah karya seni, sekali lagi, saya hanyalah penikmat keindahan, jadi saya cuma akan membahas instalasi yang saya sukai, selebihnya silahkan datang dan menyaksikan sendiri, toh Anda dan saya belum tentu sama cara pandangnya–sebuah instalasi karya Titarubi–Bodyscape yang mengingatkan saya pada video game horror Silent Hill. Tubuh-tubuh yang terbalut kain putih–semacam kafan, diletakkan dalam posisi tidur telentang dan mengambang setinggi pinggang. Ditambah suasana gedung itu sendiri yang sudah tua, jadilah….hawa2 horror. Saya rasa Mr. Nikk dan Mr. Yudi akan senang berada di ruangan itu.
Beranjak dari sana, ada tabung2 gelas karya Masuda Hiromi–Play the glass, vento di venesia yang cukup menarik, mengingatkan saya pada bentuk tetesan air, dan sebuah karya dari Oscar Motulloh–Urban Horizon yang memanfaatkan bilik2 kasir dengan karya2 fotografinya. Selepas dari sana, karya2 fotografi dari para fotografer yang cukup tenar, dijadikan satu di salah satu sudut ruang, mereka antara lain Timur Angin, Kamal Jufri, Arif Sunarya, Mohamad Iqbal dan Paul Kadarisman, yang menampilkan kekuatan menangkap momen sesuai cirinya masing2. Setelah beberapa instalasi2 indah dan unik, saya tiba pada suatu ruangan yang instalasinya ditutupi oleh kain2 putih. Ah. Kiranya Bapak Dosen kita saja yang membuatnya. Tisna Sanjaya. Kain putih, arang, abu. Siklus Abu. Setumpuk kayu yang terbakar, dibalut kain putih. Sekedar bertanya dalam hati, sebuah ode buat karyanya yang dibakar Pemda di Bandung? Atau… yah, maklumlah wawasan seni saya memang cètèk, cuman waktu pertama kali melihat, yang langsung teringat, ya, itu, peristiwa itu. Silakan ditanggapi mungkin?
Masuda Hiromi kembali berkarya dengan gelas tiup warna-warni yang menyenangkan untuk dilihat setelah melewati sekian karya2 yang depresif dan murung. Ini karya yang saya suka. Terlepas dari maksud di belakang pembuatan karya berjudul Untitled tersebut, karya ini enak dilihat. Percaya deh.
Disudut lain Museum mata saya tertuju pada selembar surat pernyataan besar yang ditulis oleh seseorang yang saya kenal lumayan lama, Gustaf Hariman. Sebuah pernyataan pengunduran diri dari pameran karena prihatin terhadap peristiwa “Anjas”. Heehhh. Mendingan jalan lagi deh. Dan menemukan Warung Kopi Mang Adun, karya dari Akademi Samali yang bertajuk Globoteknoindustrikosmopolitanisme, phuih, panjang bener. Menarik karena menampilkan sebuah warung kopi sebagai objek karyanya. Dibelakangnya, kawan-kawan lama saya Handi Hermansjah, Joko D. Avianto dan Arief Tousiga membuat sebuah karya diorama berjudul For Rent. Unik. Lucu. Seram. Itu yang saya tangkap dari karya mereka. Sebuah tempat pelacuran, lengkap dengan pelacur-pelacurnya, sang pelanggan, Mami, tukang becak dan becaknya, dan seorang pedagang asongan. Plus lampu yang remang-remang. Cuma, ada yang hilang disana. Seharusnya ada tempelan2 gambar di dinding–seperti kata teman saya yang sudah duluan kesitu–yang menurut saya pasti terkena imbas kasus Anjas. Ah. Lagi-lagi. Jadi bertanya-tanya juga, kemana rekan-rekan seniman saya yang lain ya? Terjebak dalam komersialisme dan kesibukan kapitalis yang sadar tidak sadar membalut keseharian kita? Saya yakin, sebenarnya mereka pun rindu untuk berkesenian. Tapi itu butuh waktu. Benar?
Terakhir, sebuah karya berjudul Kehidupan Mahasiswa Urban karya Tumor Ganas, yang terbilang cukup unik, berupa setting kamar kost-an mahasiswa, lengkap, tapi dipasang vertikal di dinding. (in case you were wondering how the hell is this photo supposed to be seen, it really is like the way it is.)
Dan…angka digital 15.40 pun terpampang di pergelangan saya. Saatnya untuk kembali ke dunia nyata. Naik busway lagi, kembali ke kantor. Sumpah! Jakarta panas dan macet banget. Tapi menyaksikan kembali karya2 seni seperti ini setelah sekian lama, sungguh memberikan sebuah persepsi baru terhadap kehidupan saya pribadi dan memberi penyegaran tersendiri. Sayangnya, tidak semua orang berpandangan sama terhadap sebuah karya seni.
By the way, ada sebuah pemandangan menarik dalam perjalanan saya menuju Museum BI, aksi demo yang lumayan besar di depan BLBI. Dan kalo saya gak salah, hari ini (Kamis 29 September 2005) bakal ada demo besar-besaran anti kenaikan BBM yang bakal melibatkan semua angkutan umum Jakarta, yang rencananya akan mogok besar2an. Duh.
I wonder where will this country be taken.
14.20. Teng. Angka2 digital di pergelangan tangan bergulir ketika menjajakan kaki di tangga Museum BI dimana CP Biennale yang bertajuk Urban Culture diselenggarakan. Setelah mengisi buku tamu, tiba-tiba saya disergap oleh kru JakTV yang minta buat wawancara sejenak, apalagi kalo bukan tentang pameran itu sendiri dan peristiwa terpanas seputar Anjas. Bah. Berhubung saya datang berenam dengan rekan kantor langsung saja saya limpahkan “kehormatan” tersebut pada rekan Iman Kohar yang saya anggap lebih senior dan lebih banyak tahu dari segi fotografi dan lebih “serius” pandangannya terhadap masalah ini. Kalo saya, waduh, bisa emosi. Hahahahaha.
Instalasi pertama yang menghadang adalah buah karya seorang seniman dari Cina–yang saya lupa namanya (maaf) berupa Lotus hitam berdiameter kurang lebih 2 meter, yang sejenak mengembang, sejenak mengempis. Tapi yang berikutnya, ini salah satu yang saya sukai disini–dan berhubung bukan tempat saya untuk meng-kurator-i sebuah karya seni, sekali lagi, saya hanyalah penikmat keindahan, jadi saya cuma akan membahas instalasi yang saya sukai, selebihnya silahkan datang dan menyaksikan sendiri, toh Anda dan saya belum tentu sama cara pandangnya–sebuah instalasi karya Titarubi–Bodyscape yang mengingatkan saya pada video game horror Silent Hill. Tubuh-tubuh yang terbalut kain putih–semacam kafan, diletakkan dalam posisi tidur telentang dan mengambang setinggi pinggang. Ditambah suasana gedung itu sendiri yang sudah tua, jadilah….hawa2 horror. Saya rasa Mr. Nikk dan Mr. Yudi akan senang berada di ruangan itu.
Beranjak dari sana, ada tabung2 gelas karya Masuda Hiromi–Play the glass, vento di venesia yang cukup menarik, mengingatkan saya pada bentuk tetesan air, dan sebuah karya dari Oscar Motulloh–Urban Horizon yang memanfaatkan bilik2 kasir dengan karya2 fotografinya. Selepas dari sana, karya2 fotografi dari para fotografer yang cukup tenar, dijadikan satu di salah satu sudut ruang, mereka antara lain Timur Angin, Kamal Jufri, Arif Sunarya, Mohamad Iqbal dan Paul Kadarisman, yang menampilkan kekuatan menangkap momen sesuai cirinya masing2. Setelah beberapa instalasi2 indah dan unik, saya tiba pada suatu ruangan yang instalasinya ditutupi oleh kain2 putih. Ah. Kiranya Bapak Dosen kita saja yang membuatnya. Tisna Sanjaya. Kain putih, arang, abu. Siklus Abu. Setumpuk kayu yang terbakar, dibalut kain putih. Sekedar bertanya dalam hati, sebuah ode buat karyanya yang dibakar Pemda di Bandung? Atau… yah, maklumlah wawasan seni saya memang cètèk, cuman waktu pertama kali melihat, yang langsung teringat, ya, itu, peristiwa itu. Silakan ditanggapi mungkin?
Masuda Hiromi kembali berkarya dengan gelas tiup warna-warni yang menyenangkan untuk dilihat setelah melewati sekian karya2 yang depresif dan murung. Ini karya yang saya suka. Terlepas dari maksud di belakang pembuatan karya berjudul Untitled tersebut, karya ini enak dilihat. Percaya deh.
Disudut lain Museum mata saya tertuju pada selembar surat pernyataan besar yang ditulis oleh seseorang yang saya kenal lumayan lama, Gustaf Hariman. Sebuah pernyataan pengunduran diri dari pameran karena prihatin terhadap peristiwa “Anjas”. Heehhh. Mendingan jalan lagi deh. Dan menemukan Warung Kopi Mang Adun, karya dari Akademi Samali yang bertajuk Globoteknoindustrikosmopolitanisme, phuih, panjang bener. Menarik karena menampilkan sebuah warung kopi sebagai objek karyanya. Dibelakangnya, kawan-kawan lama saya Handi Hermansjah, Joko D. Avianto dan Arief Tousiga membuat sebuah karya diorama berjudul For Rent. Unik. Lucu. Seram. Itu yang saya tangkap dari karya mereka. Sebuah tempat pelacuran, lengkap dengan pelacur-pelacurnya, sang pelanggan, Mami, tukang becak dan becaknya, dan seorang pedagang asongan. Plus lampu yang remang-remang. Cuma, ada yang hilang disana. Seharusnya ada tempelan2 gambar di dinding–seperti kata teman saya yang sudah duluan kesitu–yang menurut saya pasti terkena imbas kasus Anjas. Ah. Lagi-lagi. Jadi bertanya-tanya juga, kemana rekan-rekan seniman saya yang lain ya? Terjebak dalam komersialisme dan kesibukan kapitalis yang sadar tidak sadar membalut keseharian kita? Saya yakin, sebenarnya mereka pun rindu untuk berkesenian. Tapi itu butuh waktu. Benar?
Terakhir, sebuah karya berjudul Kehidupan Mahasiswa Urban karya Tumor Ganas, yang terbilang cukup unik, berupa setting kamar kost-an mahasiswa, lengkap, tapi dipasang vertikal di dinding. (in case you were wondering how the hell is this photo supposed to be seen, it really is like the way it is.)
Dan…angka digital 15.40 pun terpampang di pergelangan saya. Saatnya untuk kembali ke dunia nyata. Naik busway lagi, kembali ke kantor. Sumpah! Jakarta panas dan macet banget. Tapi menyaksikan kembali karya2 seni seperti ini setelah sekian lama, sungguh memberikan sebuah persepsi baru terhadap kehidupan saya pribadi dan memberi penyegaran tersendiri. Sayangnya, tidak semua orang berpandangan sama terhadap sebuah karya seni.
By the way, ada sebuah pemandangan menarik dalam perjalanan saya menuju Museum BI, aksi demo yang lumayan besar di depan BLBI. Dan kalo saya gak salah, hari ini (Kamis 29 September 2005) bakal ada demo besar-besaran anti kenaikan BBM yang bakal melibatkan semua angkutan umum Jakarta, yang rencananya akan mogok besar2an. Duh.
I wonder where will this country be taken.
3 Comments:
hayahhhhhh ...seni rupa urban kelas menengah kebawah dan sekedar tempelan ajaaaa ...
eitss, saya ini seniman bukan sih ???
waduuuuh...maaf kalau karya saya jadi tampak horor, maksudnya memang itu...setelah penutupan karya Agus Suwage dan Davy Linggar oleh penyelenggara tanpa permisi dan ijin dari senimannya karena takut diserbu mereka yang 'tergoda' oleh tubuh Anjas...apalagi yg bisa kami para seniman ini buat. Jika karya bisa disensor padahal sudah disetujui untuk dipajang oleh kuratornya sendiri, jika kebebasan berkarya yang dipamerkan ditempatnya bisa ditutup begitu saja, saya hanya bisa menutup karya dengan kain putih sebagai tanda ikut prihatin. Tapi boleh diintip dan dibuka kok...
arief tousiga ini yang alumni SMA dua bandung (anak biologi)bukan ?
kalo iya japri saya ya di renny_acc@yahoo.com, tks
Post a Comment
<< Home