Friday, September 30, 2005

Untitled

09.10 PM. Muara Angke, mencuri dengar sebuah percakapan.
A: Kalo melaut, biasanya berapa lama sih?
B: Sekitar 15 hari sampai 3 mingguan lah.
A: Wah? Lama juga ya. Saya kirain cuma 1 minggu paling lama.
C: Kalo cuman dapet sekilo–dua kilo mah, rugi, Pak. Gak balik modal.
A: Ohh...
B: Tapi sekarang lagi banyak yang nggak melaut, Pak.
A: Lho? Kenapa?
C: Karena BBM naik, bahan bakarnya dijatah, Pak. Kalo melaut, gak balik modal.
A: ........

Thursday, September 29, 2005

Latihan Kebakaran, Macet, Bensin dan Demo

10 AM. Lagi enak-enaknya ng-update blog, eh, tiba2 ada asap dari lantai atas dan sirene kebakaran mulai meraung-raung. Bising dan mengganggu. Dan suara seorang bapak2 yang sok berwibawa menganjurkan semua penghuni gedung untuk segera turun melalui tangga darurat, dan lampu2 mulai dimatikan. Sialan. Ya sudahlah..secara yang penting dapat snack, minuman dan souvenir dibawah sebagai ucapan terima kasih. Hahaha.

Lucu juga sih. Seumur-umur berkantor di gedung, belum pernah ada latihan kebakaran. Sekalian aja sembari ngeliat mahluk-mahluk cantik dari lantai 9 dan 13. Hehehe. Ah, namanya juga laki2.

Di luar, jalan masih sangat macet semenjak jam 8.30 AM pagi tadi. Semua stasiun pompa bensin dipenuhi oleh mereka yang ingin membeli bensin "murah" sebelum sabtu besok resmi naik harganya. Duh. Apa mereka gak sadar ya? Kalaupun mereka sukses beli sekarang, nanti bakal gak perlu beli lagi atau memangnya nanti kalo harus ngisi lagi, harganya bakal tetep murah? Memangnya mereka gak tahu saat mereka ngantri pun mereka sudah ngabisin bensin juga?

Di radio, ribuan peserta demo akbar anti kenaikan BBM sudah merangsek menuju istana negara, itu baru gelombang pertama, disinyalir bakal ada gelombang berikutnya. Jalanan belum berubah. Masih macet. Gak mau sok politik ah. Tapi teteup aja gak kebayang nantinya gimana makin lama negara ini.

2.45 PM. Masih macet.

Catper CP Biennale–Sekedar Penampakan

Setelah menunda selama hampir 2 minggu, akhirnya jadi juga berangkat Museum BI. CP Biennale. Urban Culture. Sebuah pandangan mata dari seorang penikmat keindahan yang tidak berusaha sok seni dan apa adanya, tanpa bermaksud menohok atau menyudutkan pihak2 yang berkepentingan (itu juga kalo ada). Dan gak mau sok kritis. Period.

14.20. Teng. Angka2 digital di pergelangan tangan bergulir ketika menjajakan kaki di tangga Museum BI dimana CP Biennale yang bertajuk Urban Culture diselenggarakan. Setelah mengisi buku tamu, tiba-tiba saya disergap oleh kru JakTV yang minta buat wawancara sejenak, apalagi kalo bukan tentang pameran itu sendiri dan peristiwa terpanas seputar Anjas. Bah. Berhubung saya datang berenam dengan rekan kantor langsung saja saya limpahkan “kehormatan” tersebut pada rekan Iman Kohar yang saya anggap lebih senior dan lebih banyak tahu dari segi fotografi dan lebih “serius” pandangannya terhadap masalah ini. Kalo saya, waduh, bisa emosi. Hahahahaha.

Instalasi pertama yang menghadang adalah buah karya seorang seniman dari Cina–yang saya lupa namanya (maaf) berupa Lotus hitam berdiameter kurang lebih 2 meter, yang sejenak mengembang, sejenak mengempis. Tapi yang berikutnya, ini salah satu yang saya sukai disini–dan berhubung bukan tempat saya untuk meng-kurator-i sebuah karya seni, sekali lagi, saya hanyalah penikmat keindahan, jadi saya cuma akan membahas instalasi yang saya sukai, selebihnya silahkan datang dan menyaksikan sendiri, toh Anda dan saya belum tentu sama cara pandangnya–sebuah instalasi karya TitarubiBodyscape yang mengingatkan saya pada video game horror Silent Hill. Tubuh-tubuh yang terbalut kain putih–semacam kafan, diletakkan dalam posisi tidur telentang dan mengambang setinggi pinggang. Ditambah suasana gedung itu sendiri yang sudah tua, jadilah….hawa2 horror. Saya rasa Mr. Nikk dan Mr. Yudi akan senang berada di ruangan itu.



Beranjak dari sana, ada tabung2 gelas karya Masuda HiromiPlay the glass, vento di venesia yang cukup menarik, mengingatkan saya pada bentuk tetesan air, dan sebuah karya dari Oscar MotullohUrban Horizon yang memanfaatkan bilik2 kasir dengan karya2 fotografinya. Selepas dari sana, karya2 fotografi dari para fotografer yang cukup tenar, dijadikan satu di salah satu sudut ruang, mereka antara lain Timur Angin, Kamal Jufri, Arif Sunarya, Mohamad Iqbal dan Paul Kadarisman, yang menampilkan kekuatan menangkap momen sesuai cirinya masing2. Setelah beberapa instalasi2 indah dan unik, saya tiba pada suatu ruangan yang instalasinya ditutupi oleh kain2 putih. Ah. Kiranya Bapak Dosen kita saja yang membuatnya. Tisna Sanjaya. Kain putih, arang, abu. Siklus Abu. Setumpuk kayu yang terbakar, dibalut kain putih. Sekedar bertanya dalam hati, sebuah ode buat karyanya yang dibakar Pemda di Bandung? Atau… yah, maklumlah wawasan seni saya memang cètèk, cuman waktu pertama kali melihat, yang langsung teringat, ya, itu, peristiwa itu. Silakan ditanggapi mungkin?



Masuda Hiromi kembali berkarya dengan gelas tiup warna-warni yang menyenangkan untuk dilihat setelah melewati sekian karya2 yang depresif dan murung. Ini karya yang saya suka. Terlepas dari maksud di belakang pembuatan karya berjudul Untitled tersebut, karya ini enak dilihat. Percaya deh.



Disudut lain Museum mata saya tertuju pada selembar surat pernyataan besar yang ditulis oleh seseorang yang saya kenal lumayan lama, Gustaf Hariman. Sebuah pernyataan pengunduran diri dari pameran karena prihatin terhadap peristiwa “Anjas”. Heehhh. Mendingan jalan lagi deh. Dan menemukan Warung Kopi Mang Adun, karya dari Akademi Samali yang bertajuk Globoteknoindustrikosmopolitanisme, phuih, panjang bener. Menarik karena menampilkan sebuah warung kopi sebagai objek karyanya. Dibelakangnya, kawan-kawan lama saya Handi Hermansjah, Joko D. Avianto dan Arief Tousiga membuat sebuah karya diorama berjudul For Rent. Unik. Lucu. Seram. Itu yang saya tangkap dari karya mereka. Sebuah tempat pelacuran, lengkap dengan pelacur-pelacurnya, sang pelanggan, Mami, tukang becak dan becaknya, dan seorang pedagang asongan. Plus lampu yang remang-remang. Cuma, ada yang hilang disana. Seharusnya ada tempelan2 gambar di dinding–seperti kata teman saya yang sudah duluan kesitu–yang menurut saya pasti terkena imbas kasus Anjas. Ah. Lagi-lagi. Jadi bertanya-tanya juga, kemana rekan-rekan seniman saya yang lain ya? Terjebak dalam komersialisme dan kesibukan kapitalis yang sadar tidak sadar membalut keseharian kita? Saya yakin, sebenarnya mereka pun rindu untuk berkesenian. Tapi itu butuh waktu. Benar?



Terakhir, sebuah karya berjudul Kehidupan Mahasiswa Urban karya Tumor Ganas, yang terbilang cukup unik, berupa setting kamar kost-an mahasiswa, lengkap, tapi dipasang vertikal di dinding. (in case you were wondering how the hell is this photo supposed to be seen, it really is like the way it is.)



Dan…angka digital 15.40 pun terpampang di pergelangan saya. Saatnya untuk kembali ke dunia nyata. Naik busway lagi, kembali ke kantor. Sumpah! Jakarta panas dan macet banget. Tapi menyaksikan kembali karya2 seni seperti ini setelah sekian lama, sungguh memberikan sebuah persepsi baru terhadap kehidupan saya pribadi dan memberi penyegaran tersendiri. Sayangnya, tidak semua orang berpandangan sama terhadap sebuah karya seni.



By the way, ada sebuah pemandangan menarik dalam perjalanan saya menuju Museum BI, aksi demo yang lumayan besar di depan BLBI. Dan kalo saya gak salah, hari ini (Kamis 29 September 2005) bakal ada demo besar-besaran anti kenaikan BBM yang bakal melibatkan semua angkutan umum Jakarta, yang rencananya akan mogok besar2an. Duh.

I wonder where will this country be taken.

Wednesday, September 28, 2005

Ternyata Pulang Malam Setiap Hari Itu Tidak Bagus

Judulnya panjang yach. Hahaha. Sebel. Udah seminggu pulangnya diatas jam 10 semua. Capek..pek..pek. Pagi bangun lagi badan lemes, nyampe kantor malah ngantuk. Mana Jakarta sekarang macet mulu dimana-mana. Mosok yg biasanya nyampe kantor dalam 20 menit jadi 40 menit? Brengsek. Sampai2 gak sempet ke Erasmus Huis buat liat Van Dongen. Untungnya hari Senin kemaren diputuskan buat ngabur sejenak ke sana. Hohohoho, kalo tak, bisa keburu basi toh?!?

Ada karya2 kakak2 kelas gue, Motul, Mbak Tita dan lain2, juga ada karya Beng Rahadian. Semuanya keren. Komik bikinan Cahya oke banget. Tapi yang paling oke ya bintangnya pameran ini. Van Dongen. Gayanya eropa banget. Tintin gitu.



Okelah pokoknya pamerannya tuh. Komik Rampokan Jawa karya Van Dongen juga bagus dan berbobot karena dibuat berdasarkan fakta-fakta sejarah Indonesia yang ada. Cukup murah pula harganya, cuma 60 ribu. Worth to buy-lah.

Eits. Sudah hampir jam 12, mau ke Museum BI dulu nih. Liat CP Bienalle yang udah ketunda juga dari minggu kemaren. Ha!

Tuesday, September 27, 2005

Kreator Trashing Indonesia 2005

A brief report from saturday night @ Ancol. Finally I got there @ 07.40 PM. Missed the opening act in purposed, since me and my friends (Mr. Nikk and Mr. Yudi) intended to watch Kreator only. Got busted on the way into venue just because we brought our mineral water by ourselves. Dooh. What the hell they think we are? Some kind of freaks that'll run amok and threw bottles to people? And my buddy Mr. Nikk evidently got caught with his digital camera in his bag. Hahaha. I've told him to put it in his socks, so we can sneaked it into the venue and took as much good pictures as we wanted it. Sigh. He had to surrendered it to the security guy to be kept along the concert with other people cameras. But hey, cheer up. We came to watch this German's King of Trash. So we headed up to the venue.

Inside. First we headed up to the t-shirt booth and bought the event t-shirts, while we choose and picked our tees, the intensive-heavy-banging drum sound started to rumble from the stage.

It’s Jürgen Reil–the drummer gave an intro for the song from their latest album Enemy of God. We started to rush to the stage. On our way there we met some of our friends from Bandung, Mr. Sule, Mr. Mulky Seurieus and Mr. I-forgot-what’s-his-name-was. Hahaha. Sorry dude. Watched from the back of the crowd for the first song. Then we (Mr. Nikk and me) fight our way up to the front to get a better view, while Mr. Yudi decided to stay on the back.

Image hosted by Photobucket.com

Dang. The barricade was about 6 meters from the stage. We couldn’t get any further. So we decide to stay there and took pictures with our cellphone’s camera. Alas. We couldn’t get sharp pictures with it. Beat it. The excitement of being there watch them played and moshing with all the fucked-up guys was more than just fun. Holding my cellphone as hard as possible while aiming and try to catch the best moment from the stage, in the middle of mass mosh-pit. Took some pictures, videoed some of the songs, and suddenly…..Bam! A huge elbow landed on the back of my head. Almost lost my phone. Hahaha. The man quickly apologized to me because of that. That’s okay. It sure was fun. Having the “right” crowd flooded over there, none of them are looking for some trouble. A real die-hard fans. So there’s no hurt feelings.


Image hosted by Photobucket.com

Trying to get more closed by slipping through lots of sweated people, I made it to the centre front of the stage. Good God. I can take a better pictures from there. Get a better pictures from the frontman Mille Petrozza–the singer and guitar, who keep asked us to say “HATE” not “LOVE”. The stage was not too big. It’s about 15 meters wide, with a 5 meters long bridge on the middle. On the left (from my view to the stage) was Christian "SPEESY" Giesler playing his Bass Guitar while banging his long haired head. The frontman Mille Petrozza in the center front, Jürgen Reil–the drummer behind him, with his big bulky hand keep banging the drum intensively, and the last, Sami Yli-Sirniö–Mr. Lead Guitar, the calm guy, standing on the right side.


Image hosted by Photobucket.com

There, in the middle of the moshing party right in front of center-stage, I met my friend Arian13 shouting and sweating. Hahaha. I guess everyone were enjoyed the show. Kreator played really hard, they didn’t seem like loosing their energy
at all. It feels like the good old days when their first album Endless Pain were just out. The sound was good, the lighting also. The wallscreen on the back of the stage keep showed horrific images from their album’s cover. It really was a good show for an old Trash Metal Band that was just launched their new album, Enemy of God. On the encore part, Mille Petrozza-who almost lost his breath-trying to make us saying the word ”HATE” not “LOVE”–“On every show we had, we always ask people to say one word. Not love, but HATE. It’s time to raise…the Flag of Hate!” Hahaha. Some people never change. But he happen to made people said it though. Every single person in the crowd were shouting HATE! HATE! HATE! HATE! And they played the song Flag of Hate.

The show ended on 10.30 PM, and we went outside met some friends had a chat about the show, and then we split and walked back outside Ancol with empty stomach, thirst but with enormous feeling inside. After we took Mr. Nikk’s camera back, we went home.

You may as well check this www.kreator-terrorzone.de

Saturday, September 24, 2005

5 pm. I am going to Ancol. A great show about to begin. Kreator. The old time Trash King. Just can't wait to watch them. The weather seems okay. No black cloud seen so far. Great. Perfect. To the fact that for the last few days, Jakarta has been poured with heavy rain. Let's hope no rain will bothered tonight's concert. Yeah!